Thursday, May 16, 2013

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN QUASY EKSPERIMEN : STUDI EFEKTIFITAS TEKNIK PEMBERIAN JELLY TERHADAP KECEPATAN PEMASANGAN DAN KELUHAN NYERI PADA PASIEN DENGAN KATETERISASI URIN DI RUANG IRD LANTAI I RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

            Retensi urin merupakan masalah sistem perkemihan yang banyak ditemukan oleh tenaga dokter dan perawat dalam menjalankan tugas sehari-hari dengan beragam penyebab baik secara akut maupun kronis. Buli merupakan organ berongga yang terletak dibelakang tulang simfisis pubis dan menempati sebagai besar rongga pelvis. Bila isi buli melebihi kapasitas buli over distensi, maka perlu pengelolaan yang baik dan  tepat untuk mengeluarkan urin yaitu dengan kateterisasi (Harrison,SCW.,Abrams P,1994). Tindakan kateterisasi merupakan tindakan  invasif dan dapat menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru akan menimbulkan kerusakan uretra yang permanent (Kozier, Erb, dan Oliveri 1991, Basuki, B.Purnomo,2003). Nyeri merupakan keluhan utama yang sering dialami oleh pasien dengan kateterisasi karena tindakan memasukkan selang kateter dalam kandung kemih mempunyai resiko terjadinya infeksi atau trauma pada uretra. Resiko trauma berupa iritasi pada dinding uretra lebih sering terjadi pada pria karena keadaan uretranya yang lebih panjang daripada wanita dan membran mukosa yang melapisi dinding uretra memang sangat mudah rusak oleh pergesekan akibat dimasukkannya selang kateter juga lumen uretra yang lebih panjang (Wolff, Weitzel, dan Fuerst, 1984).  Bahwa cara memasukkan jelly langsung kedalam uretra dapat mempengaruhi kecepatan pemasangan sehingga mengurangi tingkat iritasi pada dinding uretra akibat pergesekan dengan kateter bila dibandingkan dengan cara pelumasan dengan melumuri jelly pada ujung kateter (Ferdinan, Tuti Pahria; 2003). Iritasi jaringan atau nekrosis dapat juga diakibatkan oleh pemakaian kateter yang ukurannya tidak sesuai besarnya orifisium uretra, kurangnya pemakaian jelly, penekanan yang berlebihan, misalnya memfiksasi terlalu erat dan penggunaan kateter intermiten yang terlalu sering dapat merusak jaringan kulit. Dampak nyeri sebagai akibat spasme otot spingter karena kateterisasi akan terjadi perdarahan dan kerusakan uretra yang dapat menyebabkan stricture uretra yang bersifat permanen hal ini akan memperberat penyakit serta memperpanjang hari perawatan pasien. Bila hal tersebut tidak segera mendapat perhatian, maka kejadian berbagai komplikasi dengan mekanisme yang belum diketahui  berpeluang sangat besar.
             Dalam pelaksanaan tindakan kateterisasi urin, perawat biasanya melakukan pemilihan ukuran dengan cermat, sesuai dengan besar kecilnya diameter meatus urinarius. Meatus urinarius ini merupakan bagian yang paling luar dari uretra, yang paling tidak mengambarkan besar kecilnya lumen uretra. Selain itu untuk mengurangi pergesekan pada dinding uretra yang nantinya akan menyebabkan iritasi, perawat juga biasanya melumuri ujung kateter sepanjang 15-18 cm dengan cairan kental berbentuk gel yang biasa disebut jelly. Jelly ini bermacam-macam umumnya yang  digunakan adalah  K.Y. Jelly. Jelly ini berfungsi sebagai pelumas yaitu untuk melicinkan kateter agar mudah dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui uretra. Penggunaan jelly  dimaksudkan untuk mencegah spasme otot meatus uretra eksterna sehingga dapat mengurangi iritasi pada dinding uretra. Teknik pemberian  jelly sendiri dapat memperbaiki kualitas pelumasan  dengan demikian sensasi nyeri yang timbul karena iritasi juga dapat dikurangi (Malcolm R. Colmer, 1986). Berdasarkan data tahunan disekertariat SMF urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun  2000 bahwa penderita BPH   78 % datang dengan retensi urin dan diatasi dengan pemakaian kateter menetap sampai penderita siap dioperasi (Budisaksono K; 2000). Data laporan klinik di Poli Urologi tahun 2001 terdapat 376 pasien dengan kateterisasi dan hasil penelitian  Tuti Pahria (2003) menunjukkan bahwa dari 10 orang yang menjalani kateterisasi urin yang diwawancarai, keseluruhan mengeluhkan nyeri. Keadaan tersebut akan semakin menyulitkan penanggulangan kelainan saluran perkemihan.
            Setiap prosedur pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu; pemasangan kateter dilakukan secara aseptic dengan melakukan disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit genitalia dan jika perlu diberikan antibiotik seperlunya, diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien. Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan definitif terhadap penyebab retensi urin, perlu diingat makin lama kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit berupa infeksi atau cedera uretra ( Basuki, B Purnomo,2003 ).      
            Sebagian besar teknik pemasangan kateter hanya menggunakan jelly yang dilumuri diujung kateter sedangkan faktor utama yang memudahkan terjadinya rasa nyeri dan iritasi mukosa uretra adalah karena teknik pemberian jelly yang kurang tepat. Pada pasien dengan retensi urin, ada urin yang tertinggal dalam kantung kemih yang secara terus menerus akan dapat mengakibatkan radang kandung kemih dan fungsi ginjal yang terganggu. Akibat adanya retensi urin atau inkontinensia urin diperlukan tindakan segera untuk mengosongkan kandung kemih. Dengan teknik dan prosedur kateterisasi yang baik diharapkan dapat mengurangi sensasi nyeri terutama penggunaaan jelly, jenis maupun jumlah jelly yang digunakan.
            Cara pelumasan yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama yaitu untuk mengurangi resiko iritasi dan nyeri yang timbul, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian guna mengetahui efektifitas teknik pemberian jelly terhadap kecepatan pemasangan dan keluhan pasien dengan kateterisasi dan bila ternyata ada perbedaan yang bermakna, cara pelumasan mana yang menimbulkan keluhan yang lebih ringan dan kecepatan pemasangan lebih cepat. Temuan ini dapat bermamfaat bagi praktek keperawatan klinik dimana perawat dalam melakukan kateterisasi  urin  dapat memilih cara pelumasan yang dapat mengurangi resiko gangguan rasa nyaman (nyeri) yang dialami klien.
sampai saat ini dilaporkan rata – rata penyembuhan luka tali pusat terjadi beberapa hari setelah perawatan dirumah dengan rentang waktu yang bervariatif. Rata – rata tenaga keperawatan yang bertugas di Perinatologi belum mengetahui tingkat efektifitas dari kedua perawatan yang dilakukan pada tali pusat bayi baru lahir . Dan sampai saat ini belum ada penelitian tentang perawatan ini. Menurut, Cunningham (1995) menyatakan tali pusat mengering lebih cepat dan lepas lebih awal kalau terbuka, dan karena itu pembalutan tak dianjurkan. Pusat Pengembangan  Keperawatan Carolus (2002) menuliskan dalam makalah  Pelatihan Managemen Asuhan Kebidanan, bahwa perawatan tali pusat dengan tehnik terbuka lebih baik karena tali pusat yang tidak tertutup akan mengering dan puput lebih cepat dengan komplikasi yang sedikit. Manfaat lain dari perawatan terbuka tentu akan lebih sedikit bahan dan alat habis pakai yang akan digunakan perawat  yang bertugas, sehingga  akan menekan biaya yang dikeluarkan rumah sakit. Sedang perawatan tali pusat tehnik tertutup didasarkan pada kajian literatur yang menyatakan bahwa dengan tehnik tertutup akan mencegah terjadinya kontaminasi dengan dunia luar dan melindungi luka tali pusat dari gesekan, walaupun secara ekonomi akan lebih banyak bahan dan alat yang diperlukan.
            Adanya berbagai tehnik perawatan tali pusat dan beragamnya alat dan bahan habis pakai yang digunakan khususnya di ruang perawatan perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso, dan belum diketahuinya tingkat efektifitas perawatan tali pusat yang dilakukan terhadap proses penyembuhan, peneliti mencoba melakukan penelitian tentang efektifitas perawatan luka dengan tehnik tertutup dan terbuka terhadap penyembuhan luka tali pusat pada bayi baru lahir di ruang Perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso. Diharapkan dengan penelitian ini dapat ditemukan tehnik perawatan tali pusat yang efektif terhadap proses penyembuhan luka tali pusat dan juga efesien dari biaya yang dikeluarkan rumah sakit, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit khususnya di Ruang Perinatologi.  

No comments:

Post a Comment