BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Retensi urin merupakan masalah
sistem perkemihan yang banyak ditemukan oleh tenaga dokter dan perawat dalam
menjalankan tugas sehari-hari dengan beragam penyebab baik secara akut maupun
kronis. Buli merupakan organ berongga yang terletak dibelakang tulang simfisis
pubis dan menempati sebagai besar rongga pelvis. Bila isi buli melebihi
kapasitas buli over distensi, maka perlu pengelolaan yang baik dan tepat untuk mengeluarkan urin yaitu dengan
kateterisasi (Harrison,SCW.,Abrams P,1994). Tindakan kateterisasi merupakan
tindakan invasif dan dapat menimbulkan
rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru akan menimbulkan
kerusakan uretra yang permanent (Kozier, Erb, dan Oliveri 1991, Basuki,
B.Purnomo,2003). Nyeri merupakan keluhan utama yang sering dialami oleh pasien
dengan kateterisasi karena tindakan memasukkan selang kateter dalam kandung
kemih mempunyai resiko terjadinya infeksi atau trauma pada uretra. Resiko
trauma berupa iritasi pada dinding uretra lebih sering terjadi pada pria karena
keadaan uretranya yang lebih panjang daripada wanita dan membran mukosa yang
melapisi dinding uretra memang sangat mudah rusak oleh pergesekan akibat
dimasukkannya selang kateter juga lumen uretra yang lebih panjang (Wolff,
Weitzel, dan Fuerst, 1984). Bahwa cara
memasukkan jelly langsung kedalam uretra dapat mempengaruhi kecepatan
pemasangan sehingga mengurangi tingkat iritasi pada dinding uretra akibat
pergesekan dengan kateter bila dibandingkan dengan cara pelumasan dengan
melumuri jelly pada ujung kateter (Ferdinan, Tuti Pahria; 2003). Iritasi
jaringan atau nekrosis dapat juga diakibatkan oleh pemakaian kateter yang
ukurannya tidak sesuai besarnya orifisium uretra, kurangnya pemakaian jelly,
penekanan yang berlebihan, misalnya memfiksasi terlalu erat dan penggunaan
kateter intermiten yang terlalu sering dapat merusak jaringan kulit. Dampak
nyeri sebagai akibat spasme otot spingter karena kateterisasi akan terjadi
perdarahan dan kerusakan uretra yang dapat menyebabkan stricture uretra yang
bersifat permanen hal ini akan memperberat penyakit serta memperpanjang hari
perawatan pasien. Bila hal tersebut tidak segera mendapat perhatian, maka
kejadian berbagai komplikasi dengan mekanisme yang belum diketahui berpeluang sangat besar.
Dalam pelaksanaan tindakan kateterisasi urin,
perawat biasanya melakukan pemilihan ukuran dengan cermat, sesuai dengan besar
kecilnya diameter meatus urinarius. Meatus urinarius ini
merupakan bagian yang paling luar dari uretra, yang paling tidak mengambarkan
besar kecilnya lumen uretra. Selain itu untuk mengurangi pergesekan pada
dinding uretra yang nantinya akan menyebabkan iritasi, perawat juga biasanya
melumuri ujung kateter sepanjang 15-18 cm dengan cairan kental berbentuk gel
yang biasa disebut jelly. Jelly ini bermacam-macam umumnya yang digunakan adalah K.Y. Jelly. Jelly ini
berfungsi sebagai pelumas yaitu untuk melicinkan kateter agar mudah dimasukkan
ke dalam kandung kemih melalui uretra. Penggunaan jelly dimaksudkan untuk mencegah spasme otot meatus
uretra eksterna sehingga dapat mengurangi iritasi pada dinding uretra. Teknik
pemberian jelly sendiri dapat
memperbaiki kualitas pelumasan dengan
demikian sensasi nyeri yang timbul karena iritasi juga dapat dikurangi (Malcolm
R. Colmer, 1986). Berdasarkan data tahunan disekertariat SMF urologi RSUD Dr.
Soetomo Surabaya tahun 2000 bahwa
penderita BPH 78 % datang dengan
retensi urin dan diatasi dengan pemakaian kateter menetap sampai penderita siap
dioperasi (Budisaksono K; 2000). Data laporan klinik di Poli Urologi tahun 2001
terdapat 376 pasien dengan kateterisasi dan hasil penelitian Tuti Pahria (2003) menunjukkan bahwa dari 10
orang yang menjalani kateterisasi urin yang diwawancarai, keseluruhan
mengeluhkan nyeri. Keadaan tersebut akan semakin menyulitkan penanggulangan
kelainan saluran perkemihan.
Setiap prosedur pemasangan kateter
harus diperhatikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu;
pemasangan kateter dilakukan secara aseptic dengan melakukan disinfeksi secukupnya
memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit genitalia dan jika
perlu diberikan antibiotik seperlunya, diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit
pada pasien. Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan
tindakan definitif terhadap penyebab retensi urin, perlu diingat makin lama
kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit berupa infeksi atau
cedera uretra ( Basuki, B Purnomo,2003 ).
Sebagian besar teknik pemasangan
kateter hanya menggunakan jelly yang dilumuri diujung kateter sedangkan
faktor utama yang memudahkan terjadinya rasa nyeri dan iritasi mukosa uretra
adalah karena teknik pemberian jelly yang kurang tepat. Pada pasien
dengan retensi urin, ada urin yang tertinggal dalam kantung kemih yang secara
terus menerus akan dapat mengakibatkan radang kandung kemih dan fungsi ginjal
yang terganggu. Akibat adanya retensi urin atau inkontinensia urin diperlukan
tindakan segera untuk mengosongkan kandung kemih. Dengan teknik dan prosedur
kateterisasi yang baik diharapkan dapat mengurangi sensasi nyeri terutama
penggunaaan jelly, jenis maupun jumlah jelly yang digunakan.
Cara pelumasan yang berbeda tetapi
dengan tujuan yang sama yaitu untuk mengurangi resiko iritasi dan nyeri yang
timbul, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian guna mengetahui efektifitas
teknik pemberian jelly terhadap kecepatan pemasangan dan keluhan pasien
dengan kateterisasi dan bila ternyata ada perbedaan yang bermakna, cara
pelumasan mana yang menimbulkan keluhan yang lebih ringan dan kecepatan
pemasangan lebih cepat. Temuan ini
dapat bermamfaat bagi praktek keperawatan klinik dimana perawat dalam melakukan
kateterisasi urin dapat memilih cara pelumasan yang
dapat mengurangi resiko gangguan rasa nyaman (nyeri) yang dialami klien.
sampai saat ini dilaporkan
rata – rata penyembuhan luka tali pusat terjadi beberapa hari setelah perawatan
dirumah dengan rentang waktu yang bervariatif. Rata – rata tenaga keperawatan
yang bertugas di Perinatologi belum mengetahui tingkat efektifitas dari kedua
perawatan yang dilakukan pada tali pusat bayi baru lahir . Dan sampai saat ini
belum ada penelitian tentang perawatan ini. Menurut, Cunningham (1995)
menyatakan tali pusat mengering lebih cepat dan lepas lebih awal kalau terbuka,
dan karena itu pembalutan tak dianjurkan. Pusat Pengembangan Keperawatan Carolus (2002) menuliskan dalam
makalah Pelatihan Managemen Asuhan
Kebidanan, bahwa perawatan tali pusat dengan tehnik terbuka lebih baik karena
tali pusat yang tidak tertutup akan mengering dan puput lebih cepat dengan
komplikasi yang sedikit. Manfaat lain dari perawatan terbuka tentu akan lebih
sedikit bahan dan alat habis pakai yang akan digunakan perawat yang bertugas, sehingga akan menekan biaya yang dikeluarkan rumah
sakit. Sedang perawatan tali pusat tehnik tertutup didasarkan pada kajian
literatur yang menyatakan bahwa dengan tehnik tertutup akan mencegah terjadinya
kontaminasi dengan dunia luar dan melindungi luka tali pusat dari gesekan,
walaupun secara ekonomi akan lebih banyak bahan dan alat yang diperlukan.Adanya berbagai tehnik perawatan tali pusat dan beragamnya alat dan bahan habis pakai yang digunakan khususnya di ruang perawatan perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso, dan belum diketahuinya tingkat efektifitas perawatan tali pusat yang dilakukan terhadap proses penyembuhan, peneliti mencoba melakukan penelitian tentang efektifitas perawatan luka dengan tehnik tertutup dan terbuka terhadap penyembuhan luka tali pusat pada bayi baru lahir di ruang Perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso. Diharapkan dengan penelitian ini dapat ditemukan tehnik perawatan tali pusat yang efektif terhadap proses penyembuhan luka tali pusat dan juga efesien dari biaya yang dikeluarkan rumah sakit, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit khususnya di Ruang Perinatologi.
No comments:
Post a Comment