Sunday, May 26, 2013

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN : hubungan antara motivasi belajar terhadap tingkat prestasi belajar siswa



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Motivasi belajar adalah kekuatan yang dapat mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap dan perilaku individu belajar (Dymyati dan Mudjiono, 1999,1). Motivasi belajar dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak didalam diri individu (peserta didik) yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberi arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai. Semakin besar rintangan yang diatasi, berarti semakin kuat juga motivasi belajar yang ia miliki, atau dengan kata lain semakin besar dan kuat motivasi belajar yang dimiliki, akan semakin mampu mengatasi hambatan dan masalah yang dihadapi selama mengikuti pendidikan.
Prestasi belajar adalah nilai prestasi yang mencerminkan tingkat-tingkat mahasiswa, sejauh mana telah dapat mencapai tujuan yang ditetapkan setiap mata kuliah (Arikunto, 1995,2). Prestasi belajar dapat dikatakan sebagai istilah yang menunjukkan suatu derajat keberhasilan seseorang dalam proses belajar untuk mencapai tujuan belajar. Kalau dihubungkan dengan prestasi belajar mahasiswa selama mengikuti perkuliahan dengan kuatnya motivasi yang dimanifestasikan dengan adanya konsentrasi dalam menghadapi materi perkuliahan maka dengan sendirinya akan menghasilkan prestasi yang memuaskan (Zainal Aripin, 1991, 21)
Dari asumsi sementara terdapat kesan bahwa mahasiswa PSIK FK UNAIR Angkatan III yang mengikuti Ujian Perbaikan pada semester I, II dan III, maupun Semester Pendek pada semester II dan III dalam tiap mata kuliah cukup banyak. Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi adalah “kurangnya motivasi” Mengingat masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi seperti di antaranya adalah tujuan yang hendak dicapai, situasi yang mempengaruhi, kesiapan (readness) mahasiswa untuk belajar, minat dan konsentrasi mahasiswa dalam belajar, keteraturan waktu dan kesiapan dalam belajar, karena banyaknya faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pendidikan, penelitian ini hanya membahas salah satu faktor yaitu faktor motivasi, sehingga penelitian ini merumuskan apakah motivasi mempunyai pengaruh terhadap prestasi belajar.
Masalah ini penting untuk diteliti, karena motivasi merupakan aspek yang sangat menentukan terhadap keberhasilan mahasiswa, baik selama mengikuti pendidikan maupun setelah selesai mengikuti pendidikan nantinya.
Bertolak dari permasalahan di atas, khususnya kedudukan atau posisi dan peran Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) dalam sistem pendidikan tinggi keperawatan, maka langkah-langkah penataan dan pembinaan lembaga pendidikan yang bersifat strategik perlu disusun dan dilaksanakan. Pengembangan kurikulum yang mengacu pada kurikulum nasional, bentuk pengalaman belajar yang relevan dan pengembangan sumber daya pendidikan yang diperlukan serta pembinaan dan perlu pengembangan kemampuan/keterampilan merupakan langkah-langkah pembinaan lembaga pendidikan harus dilakukan.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya lagi adalah peran tugas Staf Akademik (Dosen) sebagai motivator hendaknya mampu mengembangkan proses interaksi yang edukatif sehingga dapat menumbuhkan dan meningkatkan motivasi belajar yang pada tempatnya tercipta suasana belajar yang optimal sesuai yang diharapkan, sehingga tingkat prestasi belajar mahasiswa yang optimal dapat dicapai.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN :PENELITIAN DESKRIPTIF CROS SECTIONAL : HUBUNGAN ANTARA BEBAN KERJA DAN KINERJA PERAWAT



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Pelayanan keperawatan sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan sangat menentukan mutu pelayanan kesehatan. Tenaga keperawatan sebagai bagian dari sistem ketenagaan kesehatan, diharapkan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan pelayanan kesehatan secara nasional dan global (Achir Yani, 2001;1).  Keperawatan merupakan suatu profesi yang sangat penting dan menentukan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Di rumah sakit keperawatan juga memegang peranan yang sangat strategis, dimana kebanyakan tenaga kesehatan adalah para perawat yang memberikan asuhan keperawatan. Pelayanan keperawatan yang bermutu dapat dicapai salah satunya tergantung pada seimbangnya antara jumlah tenaga dan beban kerja perawat di suatu rumah sakit  (Jurnal Keperawatan Indonesia, 2000;333).  Dalam membuat perencanaan ketenagaan harus benar-benar diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan dampak pada beban kerja yang tinggi yang dapat  mengakibatkan  turunnya kualitas pelayanan  keperawatan (Jurnal Keperawatan Indonesia, 2000;338).  Sistem kerja yang tidak dirancang dengan baik dapat menyebabkan keluhan subyektif, beban kerja berat, tidak efektif dan tidak efisien yang pada gilirannya mengakibatkan dapat menimbulkan ketidak puasan bekerja, sehingga produktivitas kerja/ kinerja menurun (Bina Diknakes, 2001;27).  Kurangnya tenaga keperawatan baik kuantitas maupun kualitas akan sangat mengganggu kualitas asuhan keperawatan yang diberikan, karena akan semakin menambah beratnya beban kerja yang pada gilirannya prestasi kerja menurun,  kepuasan kerja berkurang, sehingga akan mengakibatkan turunnya kualitas asuhan keperawatan dan kepuasan pasien berkurang (Jurnal Keperawtan Indonesia, 2000;334-335).
Berdasarkan hasil survey Nasional yang dilakukan  Anna, 2001 bahwa perawat register nurse kondisi kerjanya mengalami perubahan yang menyebabkan kualitas pelayanan perawatan mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya mereka merasa bahwa pada saat berada di ruang kerja, mereka sering lupa untuk istirahat dan makan snack (5711 responden), merasa terjadi peningkatan tekanan untuk menyelesaikan pekerjan (5340 responden), tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan setelah shif (4210 responden), tidak bisa menyelesaikan pendidikan berkelanjutan dan mengalami stress dan sakit (3762 responden), merasa sangat kelelahan dan tidak ada motivasi setelah kerja (3617 responden), merasa tidak termotivasi dan sedih karena karena tidak bisa memberikan pelayanan keperawatan (3222 responden) dan 2928 responden merasa tidak punya tenaga untuk memberikan pelayanan keperawatan secara kualitatif yang optimal, yang semua itu disebabkan beban kerja yang tinggi. Work load yang tinggi karena staffing tidak bisa optimal.
Pada tahun 1991 telah dilakukan pengukuran penampilan kerja 35 rumah sakit se Jawa Timur dengan hasil sebagai berikut : 1) kelompok manajemen 20 % baik, 60 % cukup, 20 % kurang, 2) kelompok pelayanan medik 11, 43 % baik, 20 % cukup dan 68, 57 % kurang, 3) kelompok penunjang pelayanan medik 5, 71 % baik, 45,71 % cukup dan 48,57 % kurang, 4) pemeliharaan, dari 35 rumah sakit (100 %) kurang baik (Majalah Perumah Sakitan, 1994;7-10).
Sedangkan di RSUD dokter Soebandi Jember, jumlah tenaga keperawatan secara keseluruhan 224 orang yang tersebar diberbagai instalasi antara lain : 1) instalasi rawat jalan 32 orang perawat, 2) IGD 35 0rang perawat, 3) IBS 21 orang perawat, 4) ICU 12 orang perawat,  5) instalasi rawat inap 108 orang perawat. Jumlah pasien secara keseluruhan tahun 2001 sebanyak 50223 orang dengan BOR 51,82 %. Di instalasi rawat inap jumlah perawat 108 orang perawat, dengan jumlah tempat tidur 275 TT, perbandingan jumlah perawat dengan pasien yang dirawat 1 : 5-6 pasien pada pagi hari dan 1 : 10-15 pasien pada sore hari dan malam hari.
Di instalasi rawat inap medical bedah yang merupakan obyek penelitian, jumlah perawat sebanyak 43 orang perawat, jumlah tempat tidur 96 TT dan jumlah pasien sejak Januari – Desember 2001 sebanyak 29200 orang (Medical Record dan Program kerja Komite Keperawatan, 2002). Berdasarkan analisis data tersebut diatas salah satu masalah yang bisa diungkap adalah standar praktek asuhan keperawatan sebagai pedoman kerja bagi tenaga profesional keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan masih belum memadai (Program Kerja Komite Keperawatan, 2002). Rasio kebutuhan tenaga keperawatan didasarkan pada jumlah pasien yang dirawat masih belum memenuhi standar. Standar kinerja perlu dirumuskan,  guna dijadikan tolok ukur dalam mengadakan perbandingan antara apa yang telah dilakukan dengan apa yang diharapkan (Sedarmayanti, 2001;51). Di satu sisi dikatakan bahwa dalam memberikan pelayanan kepada pasien harus meningkatkan kualitas pelayanan agar petugas maupun konsumen merasa puas (Wijono D., 1997;231).
Untuk meningkatkan mutu pelayanan tersebut diupayakan dalam mengelola pasien sesuai dengan standar masing-masing profesi yang dalam hal ini standar praktek asuhan keperawatan yang telah ditetapkan. Semakin patuh semua tenaga profesional kepada standar yang diakui oleh masing-masing profesi, akan semakin tinggi pula mutu asuhan kesehatan/keperawatan terhadap pasien. Yang berarti bahwa kinerja tenaga profesional kesehatan/ keperawatan semakin meningkat (Wijono D., 1997;239-240). Disamping itu untuk meningkatkan kinerja tenaga profesional kesehatan/keperawatan perlu ditempuh cara-cara yang antara lain : 1) penempatan tenaga profesional keperawatan yang sesuai, 2) pemberian penghargaan yang wajar berdasarkan prestasi kerja, 3) hubungan kerja yang manusiawi, 4) adanya usaha meningkatkan mutu sumber daya manusia, 5) kejelasan siapa atasan fungsional dan siapa atasan struktural (Djojodibroto, 2000;59).
Ketidak puasan klien disebabkan oleh pelayanan keperawatan yang kurang profesional, hal ini salah satunya disebabkan model pemberian asuhan keperawatan yang diterapkan masih menggunakan model fungsional.
Model Tim merupakan salah satu model dalam pemberian asuhan keperawatan yang berorientasi pada profesionalisme, model ini dirancang yang bertujuan untuk mengurangi frakmentasi pelayanan  (Priharjo, 1995),  sehingga kinerja perawat lebih baik, karena pada model tim tersebut memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh, mendukung terlaksananya proses keperawatan dan memungkinkan komunikasi antar tim sehingga kinerja perawat lebih baik dan memberi kepuasan pada klien maupun perawat (PPNI Jatim, Kumpulan Materi Pelatihan Kepemimpinan  dan Manajemen Keperawatan Bagi Kepala Ruang, 2000). Di Indonesia suatu tim keperawatan pada model tim dapat disusun dan terdiri dari perawat sarjana atau perawat diploma sebagai ketua tim, perawat lulusan SPK sebagai anggota dan dibantu pembantu perawat (Priharjo, 1995: 31).

Tuesday, May 21, 2013

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN : Penelitian Cross Sectional ANALISIS PENGARUH KEPUASAN PASIEN TERHADAP MINAT MENGGUNAKAN JASA PELAYANAN KEPERAWATAN DI RSUD ULIN BANJARMASIN


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Peningkatan kepuasan pelanggan atau pasien menjadi strategi utama bagi organisasi pelayanan kesehatan di Indonesia salah satunya rumah sakit, agar tetap eksis  di tengah persaingan yang semakin ketat. Kepuasan pelanggan timbul bila produk atau jasa memenuhi atau melebihi harapan pelanggan (Richard F.Gerson, 2002), pelanggan yang puas akan jasa/produk yang diterimanya akan menimbulkan kognisi, afeksi dan konasi terhadap produk/jasa tersebut sehingga pada akhirnya muncul minat untuk menggunakan produk/jasa tersebut (Nugroho, 2003). Tetapi pada kenyataannya Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin sebagai salah satu Rumah Sakit milik pemerintah provinsi Kalimantan Selatan selama ini sering mendapatkan asumsi yang negatif dari masyarakat pengguna jasa pelayanan yaitu ketidakpuasan mereka akan pelayanan kesehatan (Banjarmasin Post, Maret 2004). Hal ini dapat dibuktikan salah satunya dengan melihat jumlah kunjungan pasien rawat inap yang cenderung berfluktuatif dari tahun ke tahun hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1
Tabel 1.1 Jumlah Pasien Rawat Inap di RSUD Ulin Banjarmasin
                              Tahun 1999-2003

NO
TAHUN
JUMLAH PASIEN
1
1999
11.580
2
2000
15.791
3
2001
13.592
4
2002
15.350
5
2003
12.326
1
 
Sumber : Bagian Rekam Medik RSUD Ulin Banjarmasin.
Jumlah pasien yang dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin sangat fluktuatif, dari tahun 1999 ke tahun 2000 mengalami kenaikan, tetapi pada tahun berikutnya mengalami penurunan, bahkan dari tahun 2002 ke tahun 2003 juga mengalami penurunan jumlah pasien. Hal ini dimungkinkan karena : (1) Adanya persaingan antara RSUD Ulin dengan RSU lain milik PEMDA (RSU Dr. Ansyori Saleh) dan RSU swasta lainnya. Pada salah satu rumah sakit swasta (RS SM) yaitu pada tiga tahun terakhir didapatkan bahwa RS SM mengalami peningkatan jumlah pasien yaitu tahun 2001 sebanyak 3.478 pasien dan meningkat pada tahun berikutnya (2002) yaitu 5.450 pasien dan pada tahun 2003 sebanyak 5.645 pasien. (2) Berkurangnya minat pengguna jasa pelayanan rumah sakit karena ketidakpuasaan pasien akan pelayanan khususnya pelayanan keperawatan di RSUD Ulin Banjarmasin. Namun sampai saat ini belum dibuktikan adanya Pengaruh antara kepuasan pasien dengan minat menggunakan jasa pelayanan keperawatan.
RSUD Ulin Banjarmasin yang telah ditetapkan sebagai rumah sakit swadana, hal ini berarti bahwa segala pembiayaan rumah sakit ditanggung secara mandiri oleh rumah sakit. Apabila pasien tidak puas akan pelayanan maka jumlah pasien terus mengalami penurunan dari tahun ketahun, salah satu indikator yang dapat dilihat yaitu dari BOR yang mengalami penurunan. Penurunan jumlah pasien akan menyebabkan menurunnya jumlah pendapatan rumah sakit, pembiayaan operasional rumah sakit akan menurun, kualitas pelayanan rendah, sehingga pelayanan yang diberikan kepada pasien jelek hal ini menyebabkan kepuasan pelanggan/pasien terus menurun, pasien/pelanggan yang tidak puas akan menurunkan minat mereka menggunakan jasa pelayanan rumah sakit. Dampaknya kembali akan menurunkan jumlah pasien untuk menggunakan jasa pelayanan.
Kepuasan akan pelayanan timbul bila pelayanan yang diberikan berkualitas, pelayanan disini dilihat dari segi lingkungan, fasilitas, pelayanan medis, gizi, laboratorium, radiologi, administrasi dan pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan merupakan salah satu prioritas aspek yang perlu mendapat perhatian penting karena pelayanan keperawatan merupakan suatu pelayanan yang paling lama dan paling sering kontak dengan pasien. Kepuasan pasien akan menimbulkan kognisi, afeksi dan konasi yang baik terhadap pelayanan. Apabila pada pelanggan/pasien sudah tumbuh kognisi, afeksi dan konasi yang baik maka minatnya untuk menggunakan jasa pelayanan akan timbul.
Untuk mengatasi hal diatas perlu dilakukan langkah-langkah yang positif dengan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang salah satunya pelayanan keperawatan karena pelayanan keperawatan merupakan pelayanan yang paling lama kontak dengan pasien. Pelayanan keperawatan disini mencakup perawatan fisik (pemenuhan kebutuhan fisik), perawatan psikologi (pemenuhan kebutuhan psikologi), perawatan sosial (pemenuhan kebutuhan sosial), dan perawatan spiritual (pemenuhan kebutuhan spiritual) sesuai dengan konsep keperawatan holistik. Dengan pemberian pelayanan keperawatan yang terintegrasi (fisik, psikologi, sosial spiritual dan edukasi) serta dilaksanakan sesuai dengan standar diharapkan kepuasan pasien akan meningkat sehingga minat mereka untuk menggunakan jasa pelayanan akan meningkat pula.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN : PENGARUH FAKTOR KARAKTERISTIK PASIEN, MUTU PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP LOYALITAS PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM HAJI SURABAYA


BAB I
PENDAHULUAN

            I.1 Latar Belakang
            Upaya meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat sebagai cita – cita bangsa sangat berhubungan dengan peningkatan disektor kesehatan. Untuk mewujudkannya diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang berkesinambungan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Depkes RI,1991).
Salah satu bentuk upaya kerja keras itu, saat ini semakin banyak tempat pelayanan kesehatan bermunculan, baik sektor pemerintah maupun swasta, dengan menawarkan jasa pelayanan kesehatan yang bermutu dan memiliki fasilitas yang lengkap untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Kompetisi yang akhirnya terjadi di sektor pelayanan kesehatan pun tak dapat dielakkan, namun ada dampak positif dari keadaan ini yaitu semakin baiknya mutu pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan dinikmati masyarakat.    
Untuk itu, saat ini adalah sangat penting bagi rumah sakit, untuk mampu berkompetisi dibidang pelayanan dengan rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya sehingga dapat menarik sebanyak mungkin pasien dengan beragam cara dan strategi. Keberhasilan rumah sakit dapat ditandai salah satunya adalah dengan semakin baiknya penggunaan tempat tidur perawatan oleh pasien atau BOR (Bed Occupancy Rate) di rumah sakit.
Di bawah ini dapat dilihat BOR RSU Haji Surabaya dari tahun 2000-2002:
            Tabel I.1. Indikator Pelayanan Rawat Inap tahun 2000 -2002 RSU Haji                             Surabaya

INDIKATOR
TAHUN 2000
TAHUN 2001
TAHUN 2002
STANDART
TT
209
217
218
-
BOR(%)
55.02
52.28
56.67
60-85
ALOS(Hari)
55.00
5.73
5.73
6-9
TOI(Hari)
3.48
4.36
3.8
1-3
                Sumber: Evaluasi kinerja RSU Haji Surabaya
Dari data tabel I.1 di atas, diketahui BOR di RSU Haji Surabaya selama 3 tahun berturut-turut, yaitu tahun 2000-2002 mengalami kenaikan namun demikian belum memenuhi standart yang diberikan Depkes pada tahun yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang muncul adalah rendahnya BOR yang dipengaruhi oleh loyalitas pasien di RSU Haji Surabaya dari tahun 2000-2001.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN : PENGARUH PEMBERIAN COGNITIVE SUPPORT (INFORMASI) TERHADAP KOPING PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Koping sebagai proses individu mencoba mengelola jarak yang ada antara tuntutan yang berasal dari individu dan lingkungan dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stress (Cohen & Lazarus, 1983). Perilaku koping adaptif diperlukan oleh pasien congestive heart failure untuk menurunkan keadaan tegang, energi dibebaskan, dan diarahkan langsung pada penyembuhan. Sebaliknya perilaku koping maladaptif mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi fisiologi dan psikologi, respon pikiran dan tubuh akan meningkat berupaya untuk mengembalikan keseimbangan. Pasien congestive heart failure menunjukkan koping maladaptif seperti kesulitan mempertahankan oksigenasi adekuat, sehingga cenderung gelisah dan cemas karena sulit bernapas. Gejala ini cenderung memburuk pada malam hari, kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesulitan bernapas dan jantung tidak berfungsi dengan baik. Begitu terjadi cemas, terjadi juga dispnu, yang memperberat kecemasan (Hudak, 1997; Smeltzer,  2001; Smet, 1994).
1
 
Insiden congestive heart failure 80 % akan mengalami kelelahan setelah melakukan aktivitas fisik, 20 % mengalami depresi dan ansietas. Di Amerika, 40 % penyakit jantung adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas dari seluruh kematian. 80 % adalah penyakit jantung iskemik, 5–10 % adalah penyakit jantung hipertensi (Robbin, 1999). Data pasien congestive heart failure di Ruang Kardiologi RSU Dr Seotomo Surabaya periode bulan Mei sampai Desember 2004 sebanyak ± 188 orang, dan yang mengalami koping maladaptif sebanyak 23 responden (Data Pasien Pada Ruang Kardiologi RSU Dr Seotomo, 2004).
Penyebab dari tidak adaptifnya perilaku koping pasien congestive heart failure adalah:  kurangnya informasi terhadap penyakit dan pola hidup, tidak mematuhi terapi yang dianjurkan, seperti tidak mampu melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat, melanggar pembatasan diit, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktifitas fisik yang berlebihan dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan. Hal tersebut akan berdampak pada timbulnya masalah psikologis, sosiologis dan finansial serta beban fisiologis pasien akan menjadi lebih serius. Organ tubuh tentunya akan rusak. Serangan berulang dapat menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, pembesaran limpa dan ginjal, dan bahkan kerusakan otak akibat kekurangan oksigen selama episode akut. Sehingga pasien sering kembali ke klinik dan rumah sakit akibat kekambuhan gagal jantung (Smeltzer, 2001).
Salah satu upaya yang saat ini dapat dilakukan adalah pemberian informasi. Dengan memberikan penyuluhan pada pasien dan melibatkannya dalam implementasi program terapi akan memperbaiki kerja sama dan kepatuhan. Pasien dibimbing untuk secara bertahap ke gaya hidup dan aktifitas sebelum sakit sedini mungkin. Aktifitas kegiatan hidup sehari – hari harus direncanakan untuk meminimalkan periode apnu dan kelelahan. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan, dan hubungan interpersonal harus dilakukan. Setiap aktifitas yang menimbulkan gejala harus dihindari atau dilakukan adaptasi. Pasien harus dibantu untuk mengidentifikasi stress emosional dan menggali cara – cara untuk menyelesaikannya, juga memahami bahwa gagal jantung dapat dikontrol, menjaga berat badan yang stabil, membatasi asupan natrium, pencegahan infeksi, menghindari bahan berbahaya seperti kopi dan tembakau (Smeltzer, 2001).
dan anak.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN QUASI EKSPERIMENTAL : PENGARUH PEMIJATAN BAYI (4 – 6 bulan) TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN DI DESA BARUHARJO KECAMATAN DURENAN KABUPATEN TRENGGALEK


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Anak merupakan anugrah dan amanah dari Tuhan untuk kita didik dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberikan bekal terbaik bagi anak sejak dari kandungan sampai mereka dewasa (Widyani,2003). Undang – Undang RI no.23 tahun 1992 bab V pasal 1 menyebutkan bahwa kesehatan diselenggarakan untuk mewujutkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Penilaian tumbuh kembang perlu dilakukan untuk menentukan apakah tumbuh kembang anak berjalan normal atau tidak. Manifestasi pertumbuhan salah satunya adalah berat badan. Pada usia 4-6 bulan merupakan masa pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga perlu menjaga berat badan bayi sesuai umur. Salah satu faktor yang mempengaruhi berat badan adalah nutrisi (Soetjiningsih,1998). Pada usia ini bayi mulai ditinggalkan untuk bekerja atau kesibukan yang lain. Kondisi tersebut akan mengakibatkan trauma kejiwaan sebagai akibat perpisahan dengan ibu, sehingga selera makan anak akan turun (Ebrahim,1994). Keadaan ini tidak didukung oleh perilaku ibu untuk melakukan pemijatan bayi guna merangsang peningkatan nafsu makan bayi sehingga masukan nutrisi meningkat dengan ditandai berat badan bayi meningkat sesuai usia. Namun saat ini belum ada penelitian tentang pengaruh pijat bayi (4-6 bulan) terhadap peningkatan berat badan.
1
 
Berat badan ini sangat dipengaruhi oleh genetik, lingkungan, tingkat kesehatan, status gizi dan latihan fisik (Widyani,2003). Begitu banyak faktor yang mempengaruhi sehingga perlu diupayakan untuk menjaga agar berat badan normal sesuai dengan umur, dengan cara : memenuhi kebutuhan gizi bayi baik secara kuantitas maupun kualitas, menjaga lingkungan yang kondusif yaitu membuat suasana tempat tinggal yang nyaman dan sanitasi yang baik, menjaga kesehatan bayi dengan memberi imunisasi dan kontrol ke pelayanan kesehatan, dan yang terakhir memberi stimulus. Stimulus yang diberikan berupa stimulasi taktil. Stimulus taktil yang dapat diberikan yaitu pemijatan, karena dengan pijat tersebut dapat merangsang otot – otot, tulang dan sistem organ untuk berfungsi secara maksimal (Soetjiningsih,1998).
Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain – lain. Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan pertumbuhan bayi (Soetjiningsih,1998). Kenaikan berat badan bayi sesuai umur sangat diharuskan. Bila berat badan tidak naik akan berdampak pada tumbuh kembang anak dan menurunnya daya tahan tubuhnya sehingga mudah terkena penyakit infeksi (Harahap,2001). Penyakit infeksi pada masa pertumbuhan bayi sangat berbahaya karena penyakit tersebut dalam tubuh bayi akan mengakibatkan penurunan nafsu makan sehingga pemasukan gizi kurang akibatnya gizi bayi buruk. Sebaliknya bila bayi mengalami gizi buruk, kemampuan bayi untuk melawan infeksi menurun. Keadaan ini bila berlanjut dapat membawa akibat yang fatal berupa kematian (Moehji,1992). Irianto dan Haflinda (1999) survei di Jawa Timur menemukan bayi dengan gizi buruk sebanyak 11,6% dan dari jumlah tersebut 0,7% bayi meninggal dunia. Di desa Baruharjo saat posyandu bulan Oktober 2004, didapatkan 2 bayi yang mengalami gizi buruk dari 15 bayi yang berusia 4 – 6 bulan dan tidak ditemukan bayi yang meninggal dunia akibat gizi buruk.
Pada bayi usia 4 – 6 bulan merupakan peningkatan berat badan yang cepat, yaitu sekitar 2 kali dari berat badan lahir pada usia 5 bulan dan 3 kali pada akhir tahun pertama, sehingga sangat perlu untuk menjaga berat badan bayi sesuai usia (Cunningham,1995). Peningkatan berat badan pada bayi tersebut, 41,9-47,7% dipengaruhi oleh konsumsi makanan (Harahap,2003). Konsumsi makanan ini dapat ditingkatkan dengan meningkatkan nafsu makan dengan cara melakukan pemijatan secara rutin pada bayi (Sutini,2004). Pemijatan pada bayi akan merangsang nervus vagus, dimana saraf ini akan meningkatkan peristaltik usus sehingga pengosongan lambung meningkat dengan demikian akan merangsang nafsu makan bayi untuk makan lebih lahap dalam jumlah yang cukup. Selain itu nervus vagus juga memacu produksi enzim pencernaan sehingga penyerapan makanan maksimal. Disisi lain dengan pijat juga melancarkan peredaran darah dan meningkatkan metabolisme sel, dari rangkaian tersebut berat badan bayi akan meningkat (Guyton,1997). Roesli mengutip penelitian Field and Scafidi yaitu pada bayi prematur yang dilakukan pemijatan 3 X 10 menit selama 10 hari, kenaikan berat badannya tiap hari 20% – 47% dan pada bayi cukup bulan umur 1 – 3 bulan dipijat 15 menit, 2 kali seminggu selama 6 minggu, kenaikan berat badannya lebih baik dari pada yang tidak dipijat. Manfaat yang lain dari pijat bayi juga meningkatkan daya tahan tubuh sehingga bayi tidak mudah terkena penyakit, dari sini nutrisi yang dimasukkan akan dimaksimalkan untuk pertumbuhan tidak untuk penyembuhan (Roesli,1998).
            Dari uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian guna mempelajari pengaruh pijat terhadap peningkatan berat badan bayi usia 4 – 6 bulan di desa Baruharjo kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek, sehingga hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada ibu dan  perawat khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan ibu dan anak.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN : PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENULARAN HIV/AIDS TERHADAP STIGMA MASYARAKAT PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI SMU IMANUEL SAMARINDA


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam pelaksanaan upaya penanggulangan HIV/AIDS ( Human Immuno Deficiency Virus / Aquired Immuno Deficiency Syndrome ), beberapa kendala yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat adalah mitos, diskriminasi dan stigmatisasi (Hasbullah,1999). Selama ini Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dikaitkan dengan mitos dan stigma sehingga mereka terpojok. Sikap masyarakat yang tidak bersahabat terhadap ODHA dapat dilihat dari perlakuan yang mereka alami, seperti dikeluarkan dari pekerjaannya, dikucilkan, bahkan sampai di usir dari lingkungan dimana ODHA tinggal (Jessica S, 2004)
Berdasarkan data dari UNAIDS dan UNICEF tahun 2001, terdapat 11,8 juta penduduk usia 15-24 tahun menderita HIV/AIDS terdiri dari 7,3 juta perempuan dan 4,5 juta laki-laki yang tersebar di seluruh dunia (Busza J, 2004). Di Indonesia, sampai dengan bulan Juni 2004, kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 4.389 kasus, dengan prevalensi tertinggi di 6 provinsi, yaitu DKI Jakarta (1.219), Papua (1.036), Jawa Timur (459), Bali (352), Riau (291) dan Jawa barat (248), diperkirakan jumlah sesungguhnya sebanyak 90.000 sampai 130.000 di Indonesia (Depkes RI, 2004). Angka kejadian di Kalimantan Timur  hingga bulan November 2004 tercatat 38 orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, 34 kasus HIV positif dan 4 kasus AIDS., 2 diantaranya sudah meninggal dunia. Pada tahun 1999 prevalensi HIV/AIDS di Kalimantan Timur sebanyak 0,6 %, tahun 2000 terjadi penurunan sebesar 0,1 % (0,5 %), tahun 2001 terus menurun sebanyak 0,2 % (0,3 % ), tahun 2002 kembali terjadi peningkatan sebanyak 0,7 % (0.9 %), tahun 2003 meningkat sebanyak 0,87% (1,67%), dan tahun 2004 sedikit mengalami penurunan sebanyak 0.38% (1,29%). Terdapat 3 ODHA yang tinggal di daerah Samarinda, berdasarkan analisa situasi yang dilakukan peneliti sebagai data awal penelitian pada siswa SMU Imanuel, Samarinda, Kalimantan Timur, dari 15 sampel yang diambil, terdapat 10 (66.7 %) siswa yang masih menolak untuk tinggal bersama satu lingkungan dengan ODHA, berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang terjadi pada siswa/i adalah masih adanya stigma terhadap ODHA.
Sikap diskriminasi dan stigmatisasi ini sebetulnya muncul karena masyarakat belum memahami benar mengenai HIV/AIDS (Hasbullah, 1999). Setiap orang perlu belajar bagaimana dan mengapa tidak boleh mendiskriminasikan ODHA. Siswa/i harus belajar bagaimana virus ini bisa ditularkan dan mereka bisa melindungi diri mereka dari risiko terinfeksi. Hal ini akan mengurangi diskriminasi dan stigma pada ODHA dengan cara memberikan pendidikan kesehatan. Oleh karena itu diperlukan upaya besar yang melibatkan semua pihak, baik itu dari petugas kesehatan, media massa, maupun siswa/i itu sendiri untuk memberikan informasi dan merubah sikap serta perilaku siswa/i, tetapi perlu diperhatikan pendidikan kesehatan  tetap dilakukan walaupun siswa/i tidak mengetahui adanya ODHA di lingkungan mereka mengingat masalah ini ini bersifat sangat rahasia dan rentan untuk dibuka secara terang-terangan. Diharapkan dengan meningkatnya pengertian tentang penularan HIV/AIDS membantu meminimalkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA sehingga mereka dapat hidup secara normal seperti masyarakat lainnya.
A , 2001). Metode pembelajaran merupakan salah satu metode mendidik peserta didik di klinik yang memungkinkan pendidik memilih dan menerapkan cara mendidik yang sesuai dengan objektif (tujuan), dan karakteristik individual peserta didik berdasarkan kerangka konsep pembelajaran (Nursalam, 2002). Maka pemilihan dan penerapan metode bimbingan klinik dalam kondisi tertentu dengan “Metode Bedside Teaching sangat dimungkinkan.
Bimbingan klinik merupakan bagian dari pendidikan tinggi keperawatan yang berupaya membantu peserta didik dalam meningkatkan kemampuan pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Dalyono, 1997). Untuk membantu meningkatkan kemampuan/perilaku profesional tersebut pada mahasiswa, mempersiapkan/meminimalisir hal-hal yang menjadi pengaruh dalam pembelajaran klinik dan memilih atau menerapkan metode pembelajaran klink dengan Bedside Teaching penting untuk dilakukan dengan harapan peserta didik dapat manguasai keterampilan secara prosedural, tumbuh sikap profesional melalui pengamatan langsung
Keadaan permasalahan tersebut sehingga peneliti tertarik untuk meneliti dengan judul “Pengaruh Penerapan Bedside Teaching Terhadap Perubahan Perilaku Profesional dalam Pemasangan Infus Pada Mahasiswa Program Reguler Jurusan Keperawatan Poltekkes Ternate”.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN: Pengaruh Penerapan Bedside Teaching Terhadap Perubahan Perilaku Profesional dalam Pemasangan Infus Pada Mahasiswa Program Reguler Jurusan Keperawatan Poltekkes Ternate”.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Berdasarkan tujuan Sistem Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Dirjendikti, 1999). Pendidikan program D-III  Keperawaratan adalah suatu pendidikan yang bertujuan menghasilkan  perawat praktisi  pemula (Ahli Madya Keperawatan) yang mana dikembangkan dengan landasan keilmuan  yang cukup dan landasan keprofesian yang kokoh (Ariani, 2001). Memiliki landasan profesi yang kokoh,bermakna menumbuhkan dan membina sikap, tingkah laku,dan kemampuan profesional keperawatan untuk melakukan praktik keperawatan ilmiah, tahap profesi atau pengalaman belajar klinik merupakan upaya untuk memberikan kesempatan pada peserta didik menerapkan ilmu yang di pelajari di kelas kekeadaan nyata guna mendapatkan pengalaman nyata untuk mencapai kemampuan profesional (Intelektual, Teknikal, dan Interpersonal) (Nursalam, 2002). Namun selama ini proses pembelajaran klinik di Poltekkes (Jurusan Keperawatan) Ternate masih kurang memuaskan. Hal ini diduga disebabkan kemampuan Clinikal instruktur (CI) yang masih rendah, lingkungan tempat praktek kurang memadai, dan metode bimbingan klinik yang diterapkan tidak jelas. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap perilaku profesional mahasiswa baik kognitif, psikomotor, dan afektif masih rendah, terutama dalam tindakan keterampilan pemasangan infus secara prosedural. Namun pengaruh pembelajaran klinik dengan Bedside Teaching terhadap perubahan perilaku profesional pada Mahasiswa Jurursan Keperawatan Poltekkes Ternate masih belum jelas.
Menurut Tutuko B (2004), bahwa kualitas lulusan pendidikan kesehatan (Akademi keperawatan) sekarang ini masih di pertanyakan. Di Poltekkes (Jurursan Keperawatan) Soetomo pada umumnya selama ini dalam proses pembelajaran klinik masih jauh dari harapan, sehingga perilaku profesional mahasiswa masih rendah dan dampak pada pelayanan yang diberikan kepada pasien masih kurang memuaskan. Keadaan tersebut mengakaibatkan kualitas pelayanan kesehatan juga kurang memuskan, karena pada prinsipnya dalam pembelajaran klinik dan lapangan diharapkan dapat terbentuk kemampuan akademik dan profesional serta mampu mengembangkan keterampilan dalam memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan profesional dan dapat bersosialisasi dengan peran profesionalnya (Nursalam, 2002).  
Terkait dengan hal tersebut dalam pembelajaran klinik dipengaruhi oleh banyak hal antara lain (1) penetapan Rumah Sakit atau Puskesmas profesional utama dan  Rumah Sakit lain sebagai jaringan praktek, (2) Adanya komunitas keperawatan yang mampu menciptakan iklim yang kondusif dan adanya model peran (3) Tujuan instruksional yang jelas dan menentukan kompetensi yang akan yang dicapai dan (4) Menetapkan sistem evaluasi (Nursalam, 2002). Oleh sebab itu diharapkan dalam kegiatan pengalaman belajar klinik keperawatan terencana sesuai dengan fungsi dan kompetensi yang ditetapkan oleh lembaga atau institusi pendidikan dapat dikuasai oleh peserta didik dengan optimal. ( Yusuf A , 2001). Metode pembelajaran merupakan salah satu metode mendidik peserta didik di klinik yang memungkinkan pendidik memilih dan menerapkan cara mendidik yang sesuai dengan objektif (tujuan), dan karakteristik individual peserta didik berdasarkan kerangka konsep pembelajaran (Nursalam, 2002). Maka pemilihan dan penerapan metode bimbingan klinik dalam kondisi tertentu dengan “Metode Bedside Teaching sangat dimungkinkan.
Bimbingan klinik merupakan bagian dari pendidikan tinggi keperawatan yang berupaya membantu peserta didik dalam meningkatkan kemampuan pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Dalyono, 1997). Untuk membantu meningkatkan kemampuan/perilaku profesional tersebut pada mahasiswa, mempersiapkan/meminimalisir hal-hal yang menjadi pengaruh dalam pembelajaran klinik dan memilih atau menerapkan metode pembelajaran klink dengan Bedside Teaching penting untuk dilakukan dengan harapan peserta didik dapat manguasai keterampilan secara prosedural, tumbuh sikap profesional melalui pengamatan langsung
Keadaan permasalahan tersebut sehingga peneliti tertarik untuk meneliti dengan judul “Pengaruh Penerapan Bedside Teaching Terhadap Perubahan Perilaku Profesional dalam Pemasangan Infus Pada Mahasiswa Program Reguler Jurusan Keperawatan Poltekkes Ternate”.