Tuesday, May 21, 2013

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN : PENGARUH PEMBERIAN COGNITIVE SUPPORT (INFORMASI) TERHADAP KOPING PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Koping sebagai proses individu mencoba mengelola jarak yang ada antara tuntutan yang berasal dari individu dan lingkungan dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stress (Cohen & Lazarus, 1983). Perilaku koping adaptif diperlukan oleh pasien congestive heart failure untuk menurunkan keadaan tegang, energi dibebaskan, dan diarahkan langsung pada penyembuhan. Sebaliknya perilaku koping maladaptif mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi fisiologi dan psikologi, respon pikiran dan tubuh akan meningkat berupaya untuk mengembalikan keseimbangan. Pasien congestive heart failure menunjukkan koping maladaptif seperti kesulitan mempertahankan oksigenasi adekuat, sehingga cenderung gelisah dan cemas karena sulit bernapas. Gejala ini cenderung memburuk pada malam hari, kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesulitan bernapas dan jantung tidak berfungsi dengan baik. Begitu terjadi cemas, terjadi juga dispnu, yang memperberat kecemasan (Hudak, 1997; Smeltzer,  2001; Smet, 1994).
1
 
Insiden congestive heart failure 80 % akan mengalami kelelahan setelah melakukan aktivitas fisik, 20 % mengalami depresi dan ansietas. Di Amerika, 40 % penyakit jantung adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas dari seluruh kematian. 80 % adalah penyakit jantung iskemik, 5–10 % adalah penyakit jantung hipertensi (Robbin, 1999). Data pasien congestive heart failure di Ruang Kardiologi RSU Dr Seotomo Surabaya periode bulan Mei sampai Desember 2004 sebanyak ± 188 orang, dan yang mengalami koping maladaptif sebanyak 23 responden (Data Pasien Pada Ruang Kardiologi RSU Dr Seotomo, 2004).
Penyebab dari tidak adaptifnya perilaku koping pasien congestive heart failure adalah:  kurangnya informasi terhadap penyakit dan pola hidup, tidak mematuhi terapi yang dianjurkan, seperti tidak mampu melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat, melanggar pembatasan diit, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktifitas fisik yang berlebihan dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan. Hal tersebut akan berdampak pada timbulnya masalah psikologis, sosiologis dan finansial serta beban fisiologis pasien akan menjadi lebih serius. Organ tubuh tentunya akan rusak. Serangan berulang dapat menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, pembesaran limpa dan ginjal, dan bahkan kerusakan otak akibat kekurangan oksigen selama episode akut. Sehingga pasien sering kembali ke klinik dan rumah sakit akibat kekambuhan gagal jantung (Smeltzer, 2001).
Salah satu upaya yang saat ini dapat dilakukan adalah pemberian informasi. Dengan memberikan penyuluhan pada pasien dan melibatkannya dalam implementasi program terapi akan memperbaiki kerja sama dan kepatuhan. Pasien dibimbing untuk secara bertahap ke gaya hidup dan aktifitas sebelum sakit sedini mungkin. Aktifitas kegiatan hidup sehari – hari harus direncanakan untuk meminimalkan periode apnu dan kelelahan. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan, dan hubungan interpersonal harus dilakukan. Setiap aktifitas yang menimbulkan gejala harus dihindari atau dilakukan adaptasi. Pasien harus dibantu untuk mengidentifikasi stress emosional dan menggali cara – cara untuk menyelesaikannya, juga memahami bahwa gagal jantung dapat dikontrol, menjaga berat badan yang stabil, membatasi asupan natrium, pencegahan infeksi, menghindari bahan berbahaya seperti kopi dan tembakau (Smeltzer, 2001).
dan anak.

No comments:

Post a Comment