BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan keperawatan sebagai bagian integral dari sistem pelayanan
kesehatan sangat menentukan mutu pelayanan kesehatan. Tenaga keperawatan
sebagai bagian dari sistem ketenagaan kesehatan, diharapkan dapat memenuhi
tuntutan dan kebutuhan pelayanan kesehatan secara nasional dan global (Achir
Yani, 2001;1). Keperawatan merupakan
suatu profesi yang sangat penting dan menentukan dalam pemberian pelayanan
kesehatan. Di rumah sakit keperawatan juga memegang peranan yang sangat
strategis, dimana kebanyakan tenaga kesehatan adalah para perawat yang
memberikan asuhan keperawatan. Pelayanan keperawatan yang bermutu dapat dicapai
salah satunya tergantung pada seimbangnya antara jumlah tenaga dan beban kerja
perawat di suatu rumah sakit (Jurnal
Keperawatan Indonesia,
2000;333). Dalam membuat perencanaan
ketenagaan harus benar-benar diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan dampak
pada beban kerja yang tinggi yang dapat
mengakibatkan turunnya kualitas
pelayanan keperawatan (Jurnal
Keperawatan Indonesia,
2000;338). Sistem kerja yang tidak
dirancang dengan baik dapat menyebabkan keluhan subyektif, beban kerja berat,
tidak efektif dan tidak efisien yang pada gilirannya mengakibatkan dapat
menimbulkan ketidak puasan bekerja, sehingga produktivitas kerja/ kinerja
menurun (Bina Diknakes, 2001;27).
Kurangnya tenaga keperawatan baik kuantitas maupun kualitas akan sangat
mengganggu kualitas asuhan keperawatan yang diberikan, karena akan semakin
menambah beratnya beban kerja yang pada gilirannya prestasi kerja menurun, kepuasan kerja berkurang, sehingga akan
mengakibatkan turunnya kualitas asuhan keperawatan dan kepuasan pasien
berkurang (Jurnal Keperawtan Indonesia,
2000;334-335).
Berdasarkan hasil survey Nasional yang dilakukan Anna, 2001 bahwa perawat register nurse
kondisi kerjanya mengalami perubahan yang menyebabkan kualitas pelayanan
perawatan mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya mereka merasa bahwa pada
saat berada di ruang kerja, mereka sering lupa untuk istirahat dan makan snack
(5711 responden), merasa terjadi peningkatan tekanan untuk menyelesaikan
pekerjan (5340 responden), tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan setelah shif
(4210 responden), tidak bisa menyelesaikan pendidikan berkelanjutan dan
mengalami stress dan sakit (3762 responden), merasa sangat kelelahan dan tidak
ada motivasi setelah kerja (3617 responden), merasa tidak termotivasi dan sedih
karena karena tidak bisa memberikan pelayanan keperawatan (3222 responden) dan
2928 responden merasa tidak punya tenaga untuk memberikan pelayanan keperawatan
secara kualitatif yang optimal, yang semua itu disebabkan beban kerja yang
tinggi. Work load yang tinggi karena staffing tidak bisa optimal.
Pada tahun 1991 telah dilakukan pengukuran penampilan kerja 35 rumah
sakit se Jawa Timur dengan hasil sebagai berikut : 1) kelompok manajemen 20 %
baik, 60 % cukup, 20 % kurang, 2) kelompok pelayanan medik 11, 43 % baik, 20 %
cukup dan 68, 57 % kurang, 3) kelompok penunjang pelayanan medik 5, 71 % baik,
45,71 % cukup dan 48,57 % kurang, 4) pemeliharaan, dari 35 rumah sakit (100 %)
kurang baik (Majalah Perumah Sakitan, 1994;7-10).
Sedangkan di RSUD dokter Soebandi Jember, jumlah tenaga keperawatan
secara keseluruhan 224 orang yang tersebar diberbagai instalasi antara lain :
1) instalasi rawat jalan 32 orang perawat, 2) IGD 35 0rang perawat, 3) IBS 21
orang perawat, 4) ICU 12 orang perawat,
5) instalasi rawat inap 108 orang perawat. Jumlah pasien secara
keseluruhan tahun 2001 sebanyak 50223 orang dengan BOR 51,82 %. Di instalasi
rawat inap jumlah perawat 108 orang perawat, dengan jumlah tempat tidur 275 TT,
perbandingan jumlah perawat dengan pasien yang dirawat 1 : 5-6 pasien pada pagi
hari dan 1 : 10-15 pasien pada sore hari dan malam hari.
Di instalasi rawat inap medical bedah yang merupakan obyek penelitian,
jumlah perawat sebanyak 43 orang perawat, jumlah tempat tidur 96 TT dan jumlah
pasien sejak Januari – Desember 2001 sebanyak 29200 orang (Medical Record dan
Program kerja Komite Keperawatan, 2002). Berdasarkan analisis data tersebut
diatas salah satu masalah yang bisa diungkap adalah standar praktek asuhan
keperawatan sebagai pedoman kerja bagi tenaga profesional keperawatan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan masih belum memadai (Program Kerja Komite
Keperawatan, 2002). Rasio kebutuhan tenaga keperawatan didasarkan pada jumlah
pasien yang dirawat masih belum memenuhi standar. Standar kinerja perlu
dirumuskan, guna dijadikan tolok ukur
dalam mengadakan perbandingan antara apa yang telah dilakukan dengan apa yang
diharapkan (Sedarmayanti, 2001;51). Di satu sisi dikatakan bahwa dalam
memberikan pelayanan kepada pasien harus meningkatkan kualitas pelayanan agar
petugas maupun konsumen merasa puas (Wijono D., 1997;231).
Untuk meningkatkan mutu pelayanan tersebut diupayakan dalam mengelola
pasien sesuai dengan standar masing-masing profesi yang dalam hal ini standar
praktek asuhan keperawatan yang telah ditetapkan. Semakin patuh semua tenaga
profesional kepada standar yang diakui oleh masing-masing profesi, akan semakin
tinggi pula mutu asuhan kesehatan/keperawatan terhadap pasien. Yang berarti
bahwa kinerja tenaga profesional kesehatan/ keperawatan semakin meningkat
(Wijono D., 1997;239-240). Disamping itu untuk meningkatkan kinerja tenaga
profesional kesehatan/keperawatan perlu ditempuh cara-cara yang antara lain :
1) penempatan tenaga profesional keperawatan yang sesuai, 2) pemberian
penghargaan yang wajar berdasarkan prestasi kerja, 3) hubungan kerja yang
manusiawi, 4) adanya usaha meningkatkan mutu sumber daya manusia, 5) kejelasan siapa
atasan fungsional dan siapa atasan struktural (Djojodibroto, 2000;59).
Ketidak puasan klien disebabkan oleh pelayanan keperawatan yang kurang
profesional, hal ini salah satunya disebabkan model pemberian asuhan
keperawatan yang diterapkan masih menggunakan model fungsional.
Model Tim merupakan salah satu model dalam pemberian asuhan
keperawatan yang berorientasi pada profesionalisme, model ini dirancang yang
bertujuan untuk mengurangi frakmentasi pelayanan (Priharjo, 1995), sehingga kinerja perawat lebih baik, karena
pada model tim tersebut memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh,
mendukung terlaksananya proses keperawatan dan memungkinkan komunikasi antar
tim sehingga kinerja perawat lebih baik dan memberi kepuasan pada klien maupun
perawat (PPNI Jatim, Kumpulan Materi
Pelatihan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Bagi Kepala Ruang,
2000). Di Indonesia suatu tim keperawatan pada model tim dapat disusun dan
terdiri dari perawat sarjana atau perawat diploma sebagai ketua tim, perawat
lulusan SPK sebagai anggota dan dibantu pembantu perawat (Priharjo, 1995: 31).
No comments:
Post a Comment