Thursday, May 16, 2013

CONTOH PROPOSAL SKRIPSI PENELITIAN KEPERAWATAN : FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESULITAN BELAJAR MAHASISWA DI AKPER DR. SOEDONO MADIUN


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
          Belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara – cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Aktivitas belajar tersebut bersifat kompleks karena merupakan suatu proses yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan meliputi berbagai aspek baik yang bersumber dari dalam diri maupun dari luar diri manusia. (Hamalik,1990:21).
          Aktivitas belajar bagi setiap individu tidak selamanya berlangsung wajar, kadang dapat lancar, kadang – kadang tidak, kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang terasa sulit. (Ahmadi dan Widodo S,1991:74). Kenyataan ini sering dijumpai pada setiap mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu tidaklah sama. Hal ini yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar dikalangan mahasiswa. Suatu kondisi proses belajar yang ditandai dengan adanya hambatan- hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar disebut dengan kesulitan belajar. (Ahmadi dan Widodo, 1991:88).
          Kesulitan belajar terdiri dari beberapa kategori. Menurut Soekamto dan Udin SW(1997:38), seorang mahasiswa tentu mempunyai IQ di atas rata-rata. Berdasar asumsi tersebut maka kesulitan belajar yang terjadi pada mahasiswa termasuk dalam "under achiever" yaitu prestasi rendah atau kurang. Mahasiswa tersebut memiliki IQ tinggi tetapi prestasi belajarnya rendah atau tidak dapat mencapai yang semestinya (berdasar tingkat kemampuanya). Sedangkan kelompok mahasiswa yang mengalami kesulitan belajar tersebut disebut sebagai "lower Group" yaitu kelompok yang mempunyai prestasi di bawah rata-rata (Makmun,2000: 308)
          Dari berbagai sumber informasi dapat diketahui bahwa suatu kelompok siswa / mahasiswa yang berdistribusi normal dapat diperkirakan adanya sejumlah kasus hipotetik kesulitan belajar sekitar 10% - 25% dari keseluruhan populasi tersebut. (Makmun, 2000 : 312).
          Berdasarkan hasil evaluasi belajar mahasiswa Akper Dr. Soedono Madiun tahun 2000/2001, dari 60 mahasiswa semester IV terdapat 24 (46%) mahasiswa dengan indeks prestasi dibawah rata-rata kelompok. Mahasiswa semester II dari 57 mahasiswa terdapat 29 (49%) mahasiswa dengan indeks prestasi di bawah rata-rata kelompok. Dengan demikian diperkirakan terdapat 46% mahasiswa semester IV dan 49% mahasiswa semester II yang mengalami kesulitan belajar.
          Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan faktor intelegensi, tetapi dapat juga karena faktor non intelegensi. IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan dalam belajar (Ahmadi dan Widodo, 1991:74). Faktor-faktor kesulitan belajar dapat berasal dari dalam diri mahasiswa sendiri seperti motivasi yang kurang, kebiasaan belajar kurang efektif dan kecakapan mengikuti kuliah kurang. Faktor lain berasal dari sekolah, yaitu karena faktor guru, bahan bacaan, kurikulum, kondisi gedung dan alat pelajaran. Keluarga juga merupakan faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar, yaitu perhatian orangtua , suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi. Faktor masyarakat seperti teman bergaul, aktivitas di masyarakat dan lingkungan tetangga juga mempengaruhi kesulitan belajar.
          Kesulitan belajar pada mahasiswa ditandai dengan menunjukkan prestasi yang rendah (baik berdasar kelompok maupun patokan yang ditetapkan), hasil belajar yang dicapai tak seimbang dengan usahanya, lambat dalam melakukan tugas belajar dan berperilaku yang tidak wajar.
          Tidak banyak mahasiswa yang menyadari kesulitan yang dialaminya. Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan, bahkan kegagalan seperti tak lulus ujian atau mendapat angka yang buruk dalam ujian. Sebagian besar mahasiswa yang berulangkali mengalami kegagalan dalam studinya akan menimbulkan kejengkelan, kemarahan, kemalasan, kebosanan dan bahkan kebencian. Pada akhirnya mahasiswa terpaksa harus meninggalkan bangku kuliahnya dengan segala macam kerugian berupa gangguan mental, kerugian biaya dan kehancuran dalam seluruh hidupnya (Hamalik, 1990:127).
          Upaya  memperbaiki cara belajar sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam belajar. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengenal sedini mungkin jenis kesulitan belajar dan mencari sumber penyebab utama dan penyerta yang menimbulkan kesulitan belajar (Ahmadi dan Widodo S, 1991:91).
          Berdasarkan data hasil evaluasi belajar mahasiswa dan akibat yang dapat ditimbulkan, maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kesulitan belajar. Diketahuinya faktor yang mempengaruhi  kesulitan tersebut maka upaya untuk mengatasi dapat dilakukan dengan tepat.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN : FAKTOR-FAKTOR RESIKO TERJADINYA OSTEOPOROSIS DI RUANG RAWAT INAP BEDAH RSUD DR. SOETOMO SURABAYA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
                  Dengan bertambahnya usia harapan hidup orang Indonesia, maka jumlah manusia lanjut usia di Republik ini akan bertambah banyak pula. Sehingga masalah penyakit akibat ketuaan akan semakin banyak kita hadapi. Salah satu penyakit yang harus diantisipasi adalah semakin banyaknya penyakit  osteoporosis dan patah tulang  yang diakibatkannya (Bayu Santoso, 2001)
                  Pada tahun 60 tahun ke depan akan terjadi perubahan demografik yang akan meningkatkan populasi warga usia lanjut dan meningkatkan terjadinya patah tulang karena osteoporosis. Jumlah penderita patah tulang akibat osteoporosis yang pada tahun 1990 mencapai 1,7 juta akan menjadi 6,3 juta pada tahun 2050, kecuali jika ada tindakan pencegahan yang agresif (Joewono Soeroso, 2001).
         Di Surabaya berdasarkan pengamatan Prof. Dr. Djoko Roeshadi pada penelitiannya tahun 1997, 26% diantara wanita pasca menoupouse mengalami osteoporosis.
         80% osteoporosis terjadi pada wanita terutama yang sudah mencapai usia menoupouse. Osteopororis sebetulnnya adalah berkurangnya masa tulang yang kemudian diikuti dengan kerusakan arsitektur tulang, sehingga tulang mudah mengalami patah tulang (R.. Prayitno Prabowo, 2001).
         Osteoporosis didefinisikan sebagai kelainan skeletal yang ditandai dengan adanya gangguan kekuatan tulang yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar resikonya untuk mengalami patah tulang. (Edi Mutamsir, 2001).
         Osteoporosis dibagi menjadi tiga yaitu osteoporosis primer, osteoporosis sekunder dan osteoporosis idiopatik. Dalam penelitian ini peneliti membatasi pada osteoporosis primer. Menurut Albright JA tahun 1979. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan merupakan kelompok yang terbesar. Ada dua faktor resiko yang menjadi penyebab utama terjadinya osteoporosis yaitu faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah.
                     Dengan mengetahui faktor resiko osteoporosis, kita dapat memperkirakan penyebab atau suatu hal yang dapat mempermudah terjadinya osteoporosis. Konsep ini sangat bermanfaat dalam upaya mengurangi angka kecacatan.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN: EFEKTIVITAS PERAWATAN PERIANAL DENGAN BABY OIL TERHADAP PENCEGAHAN DIAPER DERMATITIS PADA NEONATUS DI RSU Dr. SOETOMO SURABAYA


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1        Latar Belakang
Kehidupan pada masa neonatus merupakan masa yang sangat rawan dimana pada masa ini bayi harus menyesuaikan diri secara fisiologi agar dia dapat hidup sebaik-baiknya saat sudah berada di luar kandungan. Menurut Suryabudhi (2000) pada neonatus memiliki permasalahan yang luas dan kompleks, terutama masalah kulit. Semua bayi memiliki kulit yang sangat peka dalam bulan-bulan pertama. Kondisi kulit pada bayi yang relatif lebih tipis menyebabkan bayi lebih rentan  terhadap infeksi, iritasi dan alergi. Secara struktural dapat pula di lihat bahwa kulit pada bayi belum berkembang dan berfungsi optimal. Salah satu masalah kulit yang masih sering terjadi pada bayi dan anak adalah diaper dermatitis. Diaper dermatitis adalah kelainan peradangan kulit di daerah yang tertutup popok yang paling sering diderita oleh bayi atau anak-anak.             (Maya Devita,Dr;2004). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah diaper dermatitis adalah metode perawatan perianal dengan baby oil. Sampai saat belum ada  penelitian tentang efektivitas metode perawatan perianal dengan baby oil terhadap pecegahan terjadinya diaper dermatitis pada neonatus
Kurang lebih 50% bayi dan anak yang memakai popok pernah mengalaminya. Penyakit ini juga mengenai 7–35 % dari populasi bayi.     (Lestari,T; 2003). Pasien-pasien yang dirawat di Ruang Neonatus RSU               Dr. Soetomo Surabaya dalam satu bulan terakhir (31 Maret sampai 28 April 2004)  dari 153 pasien yang dirawat 55 orang ( sekitar 36 % ) pasien yang dirawat menderita diaper dermatitis.
Menurut Maya Devinta banyak faktor yang menyebabkan terjadinya diaper dermatitis. Diantaranya factor fisik (pakaian, popok), factor kimiawi (bahan kimia dalam urine dan faeces), factor enzimatik (bahan kimia yang bereaksi secara enzima) dan adanya mikroba (jamur dan bakteri pada urine dan faeces yang terdapat dalam popok. Enzim-enzim fecal yang terdapat dalam faeces bayi merupakan bahan iritan yang dapat meningkatkan permeabilitas kulit bayi.(G.Sujayanto,2001). Didalam urine juga terdapat berbagai organisme diantaranya bacterium amoniagenes yang dapat mengubah urea menjadi ammonia.Amonia dapat meningkatkan pH pada permukaan kulit bayi sehingga kulit lebih mudah terjadi iritasi. (Whaley and Wong,2000).
Daerah yang langsung berhubungan dengan popok terutama adalah lipat paha, pantat dan paha bagian dalam, dimana kulit mudah sekali menderita kelainan-kelainan. Adapun gejala dari diaper dermatitis ini sangat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai dengan yang parah. Tanda-tanda awal kelainan ini berupa kemerahan ringan di kulit daerah sekitar popok yang bersifat terbatas, disertai dengan lecet-lecet ringan atau luka pada kulit. Pada derajat sedang, dapat berupa kemerahan dengan atau tanpa bintil-bintil yang tersusun seperti satelit, disertai dengan lecet-lecet yang meliputi permukaan yang luas. Pada tingkatan ini bayi akan merasa nyeri dan tidak nyaman. Pada diaper dermatitis yang parah, ditemukan kemerahan yang hebat disertai dengan bintil-bintil, pernanahan dan meliputi daerah kulit yang luas. Bila sudah dalam keadaan demikian bayi harus mendapat perawatan intensif. (Maya Devita,Dr;2004). Bila bintil-bintil kemerahan ini dibiarkan maka dapat terinfeksi sehingga akan timbul gelembung-gelembung kecil berisi nanah yang meliputi daerah yang luas. Jika gelembung-gelembung ini pecah akan  timbul kerak di sekitar daerah tersebut. (Suryabudhi , 2000;233)
Sehingga aspek yang penting dalam perawatan bayi baru lahir adalah perawatan area popok. Hal ini essensial bagi keamanan bayi baru lahir. (Pilliteri,2002;137).
Diaper dermatitis ini dapat dicegah dengan cara membersihkan sebaik mungkin daerah yang tertutup popok setelah bayi kencing atau buang air besar dengan air bersih, kemudian dikeringkan bahkan sampai ke setiap lipatan kulit juga. Sebelum memakaikan popoknya lagi oleskan baby oil ke bokong.     (Neilson ,1992;51). Pemberian baby oil ke bokong dimaksudkan untuk mencegah amonia menempel di kulit dan untuk mempermudah mengangkat mekonium (Pilliteri,2002;137).
Walaupun dermatitis ini bukan merupakan kelainan yang mematikan, namun bila dibiarkan akan semakin meluas sehingga bisa mengganggu pertumbuhan si kecil. Ketika dia sudah dewasa kelak, bukan tidak mungkin dia akan merasa malu karena bercak yang muncul sewaktu kecil itu akan membekas hingga dewasa. Karena itu sebagai upaya pencegahan agar diaper dermatitis ini tidak terjadi maka perawatan perianal/perawatan pada daerah yang tertutup popok penting dilakukan. Jika diaper dermatitis ini tidak terjadi maka bayi akan merasa nyaman, tidak gelisah, tidak rewel dan para ibu akan merasa tenang.Untuk menilai keefektifan perawatan perianal dengan baby oil dalam mencegah terjadinya diaper dermatitis maka perlu dilakukan suatu penelitian lebih lanjut.

CONTOH SKRIPSI KEPERAWATAN QUASY EKSPERIMEN : STUDI EFEKTIFITAS TEKNIK PEMBERIAN JELLY TERHADAP KECEPATAN PEMASANGAN DAN KELUHAN NYERI PADA PASIEN DENGAN KATETERISASI URIN DI RUANG IRD LANTAI I RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

            Retensi urin merupakan masalah sistem perkemihan yang banyak ditemukan oleh tenaga dokter dan perawat dalam menjalankan tugas sehari-hari dengan beragam penyebab baik secara akut maupun kronis. Buli merupakan organ berongga yang terletak dibelakang tulang simfisis pubis dan menempati sebagai besar rongga pelvis. Bila isi buli melebihi kapasitas buli over distensi, maka perlu pengelolaan yang baik dan  tepat untuk mengeluarkan urin yaitu dengan kateterisasi (Harrison,SCW.,Abrams P,1994). Tindakan kateterisasi merupakan tindakan  invasif dan dapat menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru akan menimbulkan kerusakan uretra yang permanent (Kozier, Erb, dan Oliveri 1991, Basuki, B.Purnomo,2003). Nyeri merupakan keluhan utama yang sering dialami oleh pasien dengan kateterisasi karena tindakan memasukkan selang kateter dalam kandung kemih mempunyai resiko terjadinya infeksi atau trauma pada uretra. Resiko trauma berupa iritasi pada dinding uretra lebih sering terjadi pada pria karena keadaan uretranya yang lebih panjang daripada wanita dan membran mukosa yang melapisi dinding uretra memang sangat mudah rusak oleh pergesekan akibat dimasukkannya selang kateter juga lumen uretra yang lebih panjang (Wolff, Weitzel, dan Fuerst, 1984).  Bahwa cara memasukkan jelly langsung kedalam uretra dapat mempengaruhi kecepatan pemasangan sehingga mengurangi tingkat iritasi pada dinding uretra akibat pergesekan dengan kateter bila dibandingkan dengan cara pelumasan dengan melumuri jelly pada ujung kateter (Ferdinan, Tuti Pahria; 2003). Iritasi jaringan atau nekrosis dapat juga diakibatkan oleh pemakaian kateter yang ukurannya tidak sesuai besarnya orifisium uretra, kurangnya pemakaian jelly, penekanan yang berlebihan, misalnya memfiksasi terlalu erat dan penggunaan kateter intermiten yang terlalu sering dapat merusak jaringan kulit. Dampak nyeri sebagai akibat spasme otot spingter karena kateterisasi akan terjadi perdarahan dan kerusakan uretra yang dapat menyebabkan stricture uretra yang bersifat permanen hal ini akan memperberat penyakit serta memperpanjang hari perawatan pasien. Bila hal tersebut tidak segera mendapat perhatian, maka kejadian berbagai komplikasi dengan mekanisme yang belum diketahui  berpeluang sangat besar.
             Dalam pelaksanaan tindakan kateterisasi urin, perawat biasanya melakukan pemilihan ukuran dengan cermat, sesuai dengan besar kecilnya diameter meatus urinarius. Meatus urinarius ini merupakan bagian yang paling luar dari uretra, yang paling tidak mengambarkan besar kecilnya lumen uretra. Selain itu untuk mengurangi pergesekan pada dinding uretra yang nantinya akan menyebabkan iritasi, perawat juga biasanya melumuri ujung kateter sepanjang 15-18 cm dengan cairan kental berbentuk gel yang biasa disebut jelly. Jelly ini bermacam-macam umumnya yang  digunakan adalah  K.Y. Jelly. Jelly ini berfungsi sebagai pelumas yaitu untuk melicinkan kateter agar mudah dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui uretra. Penggunaan jelly  dimaksudkan untuk mencegah spasme otot meatus uretra eksterna sehingga dapat mengurangi iritasi pada dinding uretra. Teknik pemberian  jelly sendiri dapat memperbaiki kualitas pelumasan  dengan demikian sensasi nyeri yang timbul karena iritasi juga dapat dikurangi (Malcolm R. Colmer, 1986). Berdasarkan data tahunan disekertariat SMF urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun  2000 bahwa penderita BPH   78 % datang dengan retensi urin dan diatasi dengan pemakaian kateter menetap sampai penderita siap dioperasi (Budisaksono K; 2000). Data laporan klinik di Poli Urologi tahun 2001 terdapat 376 pasien dengan kateterisasi dan hasil penelitian  Tuti Pahria (2003) menunjukkan bahwa dari 10 orang yang menjalani kateterisasi urin yang diwawancarai, keseluruhan mengeluhkan nyeri. Keadaan tersebut akan semakin menyulitkan penanggulangan kelainan saluran perkemihan.
            Setiap prosedur pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu; pemasangan kateter dilakukan secara aseptic dengan melakukan disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit genitalia dan jika perlu diberikan antibiotik seperlunya, diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien. Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan definitif terhadap penyebab retensi urin, perlu diingat makin lama kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit berupa infeksi atau cedera uretra ( Basuki, B Purnomo,2003 ).      
            Sebagian besar teknik pemasangan kateter hanya menggunakan jelly yang dilumuri diujung kateter sedangkan faktor utama yang memudahkan terjadinya rasa nyeri dan iritasi mukosa uretra adalah karena teknik pemberian jelly yang kurang tepat. Pada pasien dengan retensi urin, ada urin yang tertinggal dalam kantung kemih yang secara terus menerus akan dapat mengakibatkan radang kandung kemih dan fungsi ginjal yang terganggu. Akibat adanya retensi urin atau inkontinensia urin diperlukan tindakan segera untuk mengosongkan kandung kemih. Dengan teknik dan prosedur kateterisasi yang baik diharapkan dapat mengurangi sensasi nyeri terutama penggunaaan jelly, jenis maupun jumlah jelly yang digunakan.
            Cara pelumasan yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama yaitu untuk mengurangi resiko iritasi dan nyeri yang timbul, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian guna mengetahui efektifitas teknik pemberian jelly terhadap kecepatan pemasangan dan keluhan pasien dengan kateterisasi dan bila ternyata ada perbedaan yang bermakna, cara pelumasan mana yang menimbulkan keluhan yang lebih ringan dan kecepatan pemasangan lebih cepat. Temuan ini dapat bermamfaat bagi praktek keperawatan klinik dimana perawat dalam melakukan kateterisasi  urin  dapat memilih cara pelumasan yang dapat mengurangi resiko gangguan rasa nyaman (nyeri) yang dialami klien.
sampai saat ini dilaporkan rata – rata penyembuhan luka tali pusat terjadi beberapa hari setelah perawatan dirumah dengan rentang waktu yang bervariatif. Rata – rata tenaga keperawatan yang bertugas di Perinatologi belum mengetahui tingkat efektifitas dari kedua perawatan yang dilakukan pada tali pusat bayi baru lahir . Dan sampai saat ini belum ada penelitian tentang perawatan ini. Menurut, Cunningham (1995) menyatakan tali pusat mengering lebih cepat dan lepas lebih awal kalau terbuka, dan karena itu pembalutan tak dianjurkan. Pusat Pengembangan  Keperawatan Carolus (2002) menuliskan dalam makalah  Pelatihan Managemen Asuhan Kebidanan, bahwa perawatan tali pusat dengan tehnik terbuka lebih baik karena tali pusat yang tidak tertutup akan mengering dan puput lebih cepat dengan komplikasi yang sedikit. Manfaat lain dari perawatan terbuka tentu akan lebih sedikit bahan dan alat habis pakai yang akan digunakan perawat  yang bertugas, sehingga  akan menekan biaya yang dikeluarkan rumah sakit. Sedang perawatan tali pusat tehnik tertutup didasarkan pada kajian literatur yang menyatakan bahwa dengan tehnik tertutup akan mencegah terjadinya kontaminasi dengan dunia luar dan melindungi luka tali pusat dari gesekan, walaupun secara ekonomi akan lebih banyak bahan dan alat yang diperlukan.
            Adanya berbagai tehnik perawatan tali pusat dan beragamnya alat dan bahan habis pakai yang digunakan khususnya di ruang perawatan perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso, dan belum diketahuinya tingkat efektifitas perawatan tali pusat yang dilakukan terhadap proses penyembuhan, peneliti mencoba melakukan penelitian tentang efektifitas perawatan luka dengan tehnik tertutup dan terbuka terhadap penyembuhan luka tali pusat pada bayi baru lahir di ruang Perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso. Diharapkan dengan penelitian ini dapat ditemukan tehnik perawatan tali pusat yang efektif terhadap proses penyembuhan luka tali pusat dan juga efesien dari biaya yang dikeluarkan rumah sakit, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit khususnya di Ruang Perinatologi.  

SKRIPSI KEPERAWATAN : EFEKTIVITAS PEMBERIAN KOMPRES HANGAT DAERAH DINDING PERUT (ABDOMEN) DAN DAERAH VENA BESAR TERHADAP PENURUNAN SUHU TUBUH PADA KLIEN FEBRIS DI RSUD PAMEKASAN


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1       Latar belakang
Kompres panas dan dingin merupakan metode untuk menurunkan suhu tubuh (Barbara R Hegner, 2003). Sesuai dengan reseptor suhu tubuh bagian dalam, maka penurunan suhu tubuh dengan pendinginan dapat dilakukan pada bagian Hypotalamus, medula spinalis, organ dalam abdomen dan di sekitar vena-vena besar (Artur C.Guyton,1997). Selama ini yang sering dijumpai dalam perawatan pada klien dengan peningkatan suhu dilakukan hanya dengan pemberian kompres pada daerah tubuh yang memiliki aliran vena besar, seperti leher, ketiak (Axila) dan inguinal (lipatan paha). Dimana sebelumnya, dilakukan dengan pemberian kompres pada daerah dahi/kepala (Nancy Roper,1988). Organ intra abdomen merupakan reseptor yang lebih peka terhadap suhu dingin (Artur C Gayton). Sedangkan daerah vena besar, dirasakan cukup efektif karena adanya proses vasodilatasi dengan pemberian kompres hangat untuk menurunkan suhu tubuh.  
1
 
Dirumah sakit Pamekasan sesuai hasil studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan pada tanggal 23 – 28 Agustus 2004, bahwasanya hampir tidak ada perawat yang mengenal/melakukan pemberian kompres pada daerah dinding perut. Dari 35 orang perawat, 51% perawat menjawab selama ini memberikan kompres pada daerah ketiak/leher sebagai daerah vena besar dan 49% perawat memberikan didaerah dahi/kepala dengan alasan daerah reseptor hypothalamus. Dampak dari seringnya intervensi pada peningkatan suhu dengan kompres pada daerah sekitar vena  besar, perawat tidak dapat mengetahui bagaimana hasil perbandingan jika dilakukan dengan pengompresan pada daerah dinding abdomen. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya hanyalah perbandingan antara pemberian kompres hangat dan dingin (Sosilo Haryanto 2002), bukan membandingkan tempat pengompresan. Hasil penelitian tersebut kompres hangat lebih efektif daripada pemberian kompres dingin. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan kompres hangat sebagai perlakuan. Dari kelima reseptor suhu yang ada, selain hypothalamus dan vena besar, belum pernah dilakukan penelitian untuk mengetahui reseptor mana yang memiliki efektifitas lebih baik. Sehingga selama ini masih sering dijumpai para perawat hanya melakukan kompres didaerah lipatan -lipatan tubuh sebagai tempat vena-vena besar.
Kondisi ini disebabkan karena selama ini perawat kurang merasakan sebagai suatu kebutuhan, sehingga kurang termotivasi untuk melakukan penelitian tentang intervensi alternative pemberian kompres dalam menurunkan suhu tubuh. Menurut Stanford (1970) bahwa kebutuhan muncul karena adanya sesuatu yang kurang dirasakan oleh orang  tersebut. 
Dengan dilakukannya penelitian ini nantinya diharapkan dapat diketahui kompres pada daerah dinding abdomen apakah lebih efektif dari daerah vena besar yang selama ini dilakukan karena merupakan salah satu reseptor suhu dan terjadi vasodilatasi pada saat pemberian kompres. Dimana organ intra abdomen juga merupakan reseptor suhu yang lebih sensitif terhadap suhu dingin. Kandungan jaringan lemak pada daerah abdomen sangat mempengaruhi proses konduksi panas dari dalam kepermukaan kulit (A.C.Guyton, 1997).

SKRIPSI KEPERAWATAN : EFEKTIVITAS PERAWATAN LUKA DENGAN TEHNIK TERTUTUP


BAB 1

PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang
            Persalinan adalah proses dimana seorang ibu melahirkan bayinya. Pada saat bayi baru lahir terjadi proses adaptasi dengan dunia luar yang jauh berbeda dengan keadaan dalam rahim sehingga terjadi perubahan (Jumiarni, 1994). Akibat perubahan lingkungan dari uterus ke luar uterus, maka bayi baru lahir menerima rangsangan yang bersifat kimiawi, mekanis dan termis. Hasil dari rangsangan ini membuat bayi akan mengalami perubahan metabolisme, pernafasan, sirkulasi dan lain-lain (Wiknjosastro H, 2002). Disamping itu bayi dituntut melakukan metabolisme dan melaksanakan segala sistem tubuhnya sendiri seperti bernafas, mencerna, eliminasi dan lain – lain yang semula tergantung pada ibunya.
1
 
            Periode lain adalah terjadinya infeksi terutama pada tali pusat yang merupakan luka basah dan dapat menjadi pintu masuknya kuman tetanus yang sangat sering menjadi penyebab kematian bayi baru lahir (Jumiarni, 1994). Sebelum terjadi penutupan anatomik yang sempurna pembuluh darah tali pusat merupakan tempat masuknya kuman yang paling baik, sehingga bayi mudah menderita infeksi                (Markum A.H, 1995). Untuk itu perlu dilakukan perawatan tali pusat. Perawatan tali pusat dapat menggunakan tehnik tertutup atau dengan menggunakan tehnik terbuka. Sampai saat ini di rumah sakit banyak yang menggunakan tehnik perawatan tertutup yaitu membersihkan tali pusat dengan alkohol 70 %, luka dikompres kasa alkohol 70 % kemudian ditutup dengan kassa steril (Cristine, 1993). Dan mulai tahun 2002, sejak adanya pelatihan APN  mulai dikembangkan tehnik perawatan terbuka dengan membersihkan tali pusat sampai kering kemudian pertahankan sisa tali pusat dalam keadaan terbuka agar terkena udara dan tutup dengan sehelai kassa steril (PPKC, 2002). Kejadian dilapangan dengan tehnik tersebut proses penyembuhan dan lepasnya tali pusat berbeda-beda, pelepasan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama dengan rentang 2 sampai 45 hari (Cuningham, 1995). Namum sampai saat ini belum ketahui tehnik yang paling efektif terhadap penyembuhan luka tali pusat.
            Perawatan tali pusat yang kurang baik dan salah dapat mempengaruhi lamanya proses pengeringan dan lamanya waktu lepas serta dapat menyebabkan infeksi  sehingga hal ini tidak efektif terhadap penyembuhan tali pusat (Cuningham, 1995). Tanda lain yang perlu diwaspadai pada tali pusat akibat perawatan yang kurang baik adalah adanya tanda kemerahan, bengkak, keluar cairan, bau busuk dan berdarah (PPKC,2002). Di ruang Perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso bayi baru lahir baik melalui persalinan fisiologis ataupun yang pathologis untuk perawatan luka tali pusatnya ada yang menggunakan  tehnik tertutup mengacu pada protap  yang ada yaitu dengan kompres basah kasssa alkohol 70%, sedangkan sebagian lagi ada yang  menggunakan tehnik terbuka tanpa memberikan sesuatu apapun pada tampuk tali pusat dan  kemudian dibiarkan terbuka tanpa tutup (mengacu pada Buku acuan Asuhan Persalinan Normal, 2002).       
            Walaupun belum ditemukan kejadian infeksi tali pusat selama dirawat di rumah sakit, sampai saat ini dilaporkan rata – rata penyembuhan luka tali pusat terjadi beberapa hari setelah perawatan dirumah dengan rentang waktu yang bervariatif. Rata – rata tenaga keperawatan yang bertugas di Perinatologi belum mengetahui tingkat efektifitas dari kedua perawatan yang dilakukan pada tali pusat bayi baru lahir . Dan sampai saat ini belum ada penelitian tentang perawatan ini. Menurut, Cunningham (1995) menyatakan tali pusat mengering lebih cepat dan lepas lebih awal kalau terbuka, dan karena itu pembalutan tak dianjurkan. Pusat Pengembangan  Keperawatan Carolus (2002) menuliskan dalam makalah  Pelatihan Managemen Asuhan Kebidanan, bahwa perawatan tali pusat dengan tehnik terbuka lebih baik karena tali pusat yang tidak tertutup akan mengering dan puput lebih cepat dengan komplikasi yang sedikit. Manfaat lain dari perawatan terbuka tentu akan lebih sedikit bahan dan alat habis pakai yang akan digunakan perawat  yang bertugas, sehingga  akan menekan biaya yang dikeluarkan rumah sakit. Sedang perawatan tali pusat tehnik tertutup didasarkan pada kajian literatur yang menyatakan bahwa dengan tehnik tertutup akan mencegah terjadinya kontaminasi dengan dunia luar dan melindungi luka tali pusat dari gesekan, walaupun secara ekonomi akan lebih banyak bahan dan alat yang diperlukan.
            Adanya berbagai tehnik perawatan tali pusat dan beragamnya alat dan bahan habis pakai yang digunakan khususnya di ruang perawatan perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso, dan belum diketahuinya tingkat efektifitas perawatan tali pusat yang dilakukan terhadap proses penyembuhan, peneliti mencoba melakukan penelitian tentang efektifitas perawatan luka dengan tehnik tertutup dan terbuka terhadap penyembuhan luka tali pusat pada bayi baru lahir di ruang Perinatologi RSD Dr H Koesnadi Bondowoso. Diharapkan dengan penelitian ini dapat ditemukan tehnik perawatan tali pusat yang efektif terhadap proses penyembuhan luka tali pusat dan juga efesien dari biaya yang dikeluarkan rumah sakit, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit khususnya di Ruang Perinatologi.  

Saturday, May 11, 2013

ANALISIS HUBUNGAN PENERAPAN MODEL ASUHAN KEPERAWATAN PROFESIONAL (MPKP) DENGAN KEPUASAN PASIEN



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Peningkatan mutu pelayanan RS. ditentukan dengan penerapan model asuhan keperawatan profesional diantaranya menggunakan model tim, asuhan ini memberikan rasa tanggung jawab perawat yang lebih tinggi sehingga terjadi peningkatan kinerja kerja dan kepuasan pasien ( Clifforth & Horvath, 1990). Kepuasan pasien ditentukan salah satunya dengan pelayanann keperawatan. Menurut Azwar (1996) pasien merasa kurang puas terhadap pelayanan keperawatan karena pelayanan tersebut tidak optimal. Di RS. Baptis Kediri sejak diterapkannya model asuhan keperawatan profesional tim awal tahun 2002 sebagian besar dari pasien masih menyatakan ketidakpuasan terhadap pelayanan hal ini dibuktikan banyaknya surat di kotak saran tentang pelayanan perawat yang kurang optimal                                (Dokumentasi RS. Baptis, 2002 – 2004). Keadaan tersebut berdampak terhadap penurunan BOR, hal ini dapat dilihat dari hasil BOR pasien yang mengalami fluktuasi di bulan terakhir 2004 pada tabel 1.1. Namun dalam hal ini belum diketahui secara terperinci dimana ketidaksesuaian pelayanan terhadap kepuasan pasien tersebut terutama dalam penerapan model asuhan keperawatan profesional tim.
Tabel 1.1 Jumlah BOR RS. Baptis Kediri, 2004
BULAN
BOR
Januari
88%
Februari
72 %
Maret
69 %
April
67 %
Mei
50 %
Juni
80%
Mei
50 %
Penerapan model asuhan keperawatan profesional tim, apabila tanggung jawab atau peran perawat baik dalam hal ( dokumentasi, timbang terima, supervisi, dan sentralisasi obat ) tidak dijalankan dengan baik, yang berarti menunjukkan kinerja kerja perawat juga menurun (Nursalam, 2002). Menurunnya kinerja kerja perawat dapat mengakibatkan suatu pelayanan asuhan keperawatan rendah dan pasien tidak puas. Apabila pasien tidak merasa puas maka jumlah pasien (BOR), juga mengalami penurunan yang berarti mengalami penurunan pendapatan RS, dan apabila hal ini terus berlanjut akan memberikan dampak kepada pengembangan rumah sakit, yang akhirnya juga mengenai perawat dalam pemberian asuhan keperawatan dan juga reward yang diterima perawat (Susilowati,1999), sehingga perawat menjadi malas untuk bekerja. Apabila asuhan keperawatan menjadi rendah maka dapat memicu untuk ketidakpuasan pasien dan terus demikian berulang secara terus menerus.
Kepuasan atau ketidakpuasan adalah suatu keputusan penilaian. Tingkat kepuasan pelayanan pasien dari persepsi pasien atau keluarga terdekat. Kepuasan pasien akan tercapai bila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap pasien dan pelayanan kesehatan memperhatikan pasien dan keluarganya, ada perhatian terhadap keluhan, kondisi lingkungan fisik dan tanggap kepada kebutuhan pasien sehingga tercapai keseimbangan yang sebaik-baiknya antara tingkat rasa puas dan derita serta jerih payah yang harus dialami guna memperoleh hasil tersebut. Dalam kepuasan suatu pelayanan di rumah sakit hal ini dipengaruhi karena adanya komunikasi, Empati, biaya, tangibility, assurance, reability, dan responsiveness                      (A.A. Gde Muninjaya, 2004). Hubungan yang baik antara pasien dan perawat dapat dilakukan apabila menerapkan suatu model asuhan keperawatan yang baik. Dengan menerapkan model yang baik maka pelayanan pasien menjadi sempurna sehingga pasien dapat terpenuhi kepuasannya.
Untuk mengatasi hal tersebut diatas sehingga perlu penataan sistem model asuhan keperawatan professional (MAKP) mulai dari ketenagaan atau pasien dan penetapan sistem tersebut (Nursalam, 2000). Seperti halnya model asuhan keperawatan di rumah sakit Baptis Kediri yaitu model Tim dimana untuk menerapkan MAKP ini perlu adanya suatu koordinasi dari segala aspek yaitu: tanggung jawab perawat tim mengenai supervisi, dokumentasi keperawatan sentralisasi obat, timbang terima dan ronde keperawatan (Nursalam, 2002). Dengan berkembangnya ilmu keperawatan terutama dalam hal manejemen maka peneliti dalam hal ini mencari gambaran tentang hubungan penerapan model asuhan keperawatan profesional tim dengan kepuasan pasien, apakah model ini sangat berhubungan dengan kepuasan pasien terutama dalam penerapan di Rumah Sakit Baptis Kediri.